Rencongmuda
|
Sering kita mendengar bahwa “Shalatlah
kamu, sebelum kamu di shalatkan”, tapi selama ini kita banyak melihat atau
pun kita sendiri yang merasakan bahwa kita bermalas-malasan untuk melakukan
shalat dengan memandang bahwa itu sebagai kewajiban, bukan sebagai suatu
kebutuhan, termasuk dalam beribadah seperti shalat.
Coba kita bayangkan,
jika tiba-tiba shalat itu dilarang. Bagaimana reaksi kita yang muncul di jiwa? Merasa
kehilangan kah? Ataukah malah merasa
bahagia?
Jawablah dengan hati
nurani kita masing-masing. Selama ini kita shalat dengan terpaksa, atau berdasarkan
kebutuhan kita? Wajar saja jika shalat kita tidak pernah sempurna. Shalat kita
sering kali hanyalah asal gugur kewajiban. Asal syarat rukun terpenuhi, habis
urusan. Kita banyak tidak peduli apakah shalat kita memiliki efek terhadap
kehidupan kita setelah tahiyat akhir kita kumandangkan. Tak lagi peduli apakah
setelah kita shalat bisa melaksanakn
yang makhruf dan mencegah yang mungkar. Tak lagi peduli apakah kita
benar ‘mendirikan’ shalat atau hanya sekedar ‘mengerjakan’ shalat.
Wajar kita lihat saja
orang yang shalatnya genap lima wakgtu, tapi masih saja menggelumbungkan dana
di kantornya. Karena selama ini ia tidak mrnjadikan shalat sebagai kebutuhan
hidup. Tapi hanya menjadikan shalat sebagai suatu kewajiban yang memaksa.
Sumber : Buku Ahmad Rifa'i Rif'an
Sumber : Buku Ahmad Rifa'i Rif'an
0 komentar: